
Malam itu, Aula Rumah Jabatan Bupati Sidrap di Pangkajene bersinar penuh makna. Ratusan tamu hadir, dari kelompok tani, penyuluh pertanian lapangan, kepala desa, hingga para pejabat teknis di bidang pertanian, pengairan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Mereka berkumpul bukan sekadar untuk rapat, melainkan untuk memulai sebuah transformasi agraris yang mendalam.
Ketua DPRD Sidrap, Takyuddin Masse, serta Wakil Bupati Nurkanaah, turut menyimak dengan seksama setiap kata yang disampaikan.
Bupati Syaharuddin Alrif, sosok yang dikenal dengan sebutan Syahar, tampil di podium dengan wajah penuh ketegasan dan semangat membara. Ia membuka rapat koordinasi cetak sawah dan oplah non rawa dengan satu pernyataan yang menggugah: “Sudah saatnya kita serius mengurus sawah kita.”
Tidak sekadar seremoni, Syahar memulai dengan alasan yang lugas dan tegas. Ia mengundang semua pihak agar hadir lengkap, siap berdiskusi sampai larut — hingga subuh sekalipun.
“Saya ingin kita semua memiliki persepsi yang sama,” ujarnya. “Tanpa miskonsepsi dan misinterpretasi tentang program cetak sawah dan oplah non rawa yang selama ini menjadi kendala dalam pelaksanaan.”*
Dalam konteks sistem produksi agrikultur yang semakin kompleks, Syahar mengakui masih banyak kendala teknis yang dialami petani: dari ketersediaan irigasi teknis, alat mekanisasi seperti combine harvester dan power tiller, hingga distribusi pupuk dan input produksi lainnya. Keluhan yang selama ini sering menjadi alasan menurunnya produktivitas.
Namun, kini, semua sarana dan prasarana itu telah tersedia. “Bukan lagi soal ‘nikmat apa yang kamu dustakan,’ tapi ‘dusta mana lagi yang kamu nikmati?’ Mari kita jujur dan bekerja bersama demi hasil yang nyata.”**
Syahar mengajak seluruh elemen untuk memandang pertanian bukan sebagai rutinitas, melainkan sebagai sektor strategis yang harus dikelola secara optimal dan berkelanjutan—dengan pendekatan precision farming, integrated pest management, dan pemanfaatan teknologi agrohidrologi.
Dalam tiga bulan terakhir, menurutnya, berbagai kendala utama seperti serangan hama, ketersediaan pupuk, distribusi air irigasi, kualitas benih unggul, hingga fluktuasi harga gabah, telah mulai ditangani secara terukur.
Namun, Syahar jujur, masih ada titik lemah. Contohnya, di Wanio Tomoreng, sawah tadah hujan hanya mampu menghasilkan 6 ton per hektare—masih jauh dari potensi maksimal.
“Kalau Toddang Bojo dan Bangkai bisa mencapai 8 ton per hektare, kenapa Wanio Tomoreng tidak?” pertanyaannya. Ini soal efisiensi agronomis dan pengelolaan sumber daya yang belum optimal.
Data statistik yang lama tak cukup. Meski sawah irigasi di Sidrap mencapai 38 ribu hektare dan rawa lebak 1.500 hektare dengan total 50.227 hektare, Syahar menegaskan, angka itu hanyalah gambaran statis.
“Data tanpa aksi nyata di lapangan adalah angka mati.”
Sejak pelantikan bersama Wakil Bupati Nurkanaah, Syahar terus terjun langsung ke lapangan, memetakan masalah secara spasial, dan melihat penerapan best practices pertanian secara langsung. Dari situ, diketahui ada 21 ribu hektare sawah non irigasi yang menjadi fokus utama, dengan 18 ribu hektare telah diusulkan mendapat bantuan dari Kementerian Pertanian.
Pendekatan ini semakin diperkuat dengan turun lapang tim survei dari Universitas Hasanuddin dan Kementerian Pertanian, yang mendata secara kuantitatif dan kualitatif kebutuhan para petani: dari alat dan sarana produksi, hingga akses permodalan dan teknologi pertanian terbaru.
“Rapat ini bukan sekadar rutinitas administratif. Ini adalah momentum sinergi, penyatuan visi, dan konsolidasi langkah.” Syahar memastikan tidak ada pihak yang tertinggal, termasuk kepala desa yang tak hadir yang mendapat perhatian khusus untuk ditindaklanjuti.
Menutup pidatonya, Syahar menegaskan kembali komitmen pemerintahannya:
“Pertanian adalah nadi utama Sidrap. Kita bukan penonton, tapi pelaku utama kemajuan agraria. Mari kita bangun revolusi sawah yang membawa Sidrap maju.”
Malam itu, bukan sekadar rencana disusun, melainkan semangat kolektif untuk membangkitkan potensi agrikultur Sidrap dari tidur panjangnya.
Karena bagi Syahar, membangun pertanian adalah seni ekologi, teknologi, dan manajemen sumber daya yang tak kenal waktu. Siang dan malam, harus siap dikorbankan demi masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan.(*)
Oleh: Saiful