
Jakarta, lintasnews7— Tanggal 21 Mei diperingati sebagai tonggak sejarah Reformasi 1998, di mana mahasiswa menjadi aktor utama dalam mendorong perubahan bangsa. Namun, dua dekade lebih pasca-reformasi, suasana kampus dinilai mulai kehilangan jati dirinya sebagai ruang intelektual. Hal ini disampaikan oleh Murni Parembai, SS., M.Ag., dosen Universitas Mohammad Husni Thamrin, dalam tulisannya yang berjudul "Merebut Kembali Ruh Kampus: Meneruskan Nafas Reformasi dalam Dunia Akademik."
Menurut Murni, kampus saat ini lebih menyerupai kantor birokrasi ketimbang ruang hidup bagi gagasan. Ia menyoroti kondisi fasilitas kampus yang tidak memadai, seperti perpustakaan yang tak terawat, ruang diskusi yang sepi, hingga minimnya ruang interaksi antar mahasiswa. "Mahasiswa hanya datang kuliah lalu pulang. Kampus kehilangan denyut intelektualnya," ujarnya.
Selain faktor fisik, Murni juga menyoroti tantangan budaya digital. Akses terhadap teknologi seperti AI dan platform instan dinilai menciptakan pola pikir "serba cepat" di kalangan mahasiswa. "Mereka cenderung mencari jawaban cepat ketimbang menikmati proses belajar. Ini bukan soal teknis semata, tetapi krisis cara berpikir," tegasnya.
Murni menyerukan pentingnya membangun ulang wajah kampus, baik dari sisi infrastruktur fisik maupun kultural. Kampus, menurutnya, harus menyediakan ruang diskusi, ruang olahraga, ruang baca, dan ruang ekspresi. "Kampus harus menjadi tempat tinggal gagasan, bukan sekadar tempat mencari nilai," katanya.
Penulis yang juga aktif di Asosiasi Dosen Pendidikan Kewarganegaraan (ADPK) ini berharap agar semangat reformasi tidak hanya digaungkan di jalanan, tetapi juga di ruang-ruang akademik. “Mari kita rebut kembali kampus sebagai ruang pikir, ruang hidup, dan ruang perubahan. Karena bangsa yang besar, adalah bangsa yang ruang belajarnya tidak pernah sunyi,” pungkasnya.