
SIDRAP, lintasnews7– Maraknya praktik rentenir berkedok bantuan keuangan cepat kembali meresahkan warga di Kabupaten Sidrap.
Di tengah kebutuhan ekonomi mendesak, banyak masyarakat terjerat pinjaman ilegal berbunga tinggi yang pada akhirnya justru memperparah kondisi finansial mereka.
Kemudahan proses tanpa syarat berbelit menjadi daya tarik utama. Namun, di balik itu tersembunyi bunga tak masuk akal dan sistem pembayaran yang mencekik.
Tak sedikit korban yang terjebak dan harus membayar dua kali lipat dari dana yang mereka terima.
Seperti yang dialami Risnawati, salah satu warga korban rentenir. Korban mengaku hanya menerima Rp8 juta dari pinjaman senilai Rp10 juta setelah dipotong biaya administrasi.
Namun, ia diwajibkan mengembalikan sekitar Rp18 juta hanya dalam waktu satu bulan.
“Contoh Rp10 juta, dipotong administrasi Rp2 juta, jadi saya terima Rp8 juta. Tapi harus kembalikan Rp18 juta dalam waktu sebulan,” tuturnya, Kamis, 22 Mei 2025.
Lebih dari sekadar beban finansial, korban kerap menerima tekanan, intimidasi, bahkan ancaman dari para penagih utang.
Praktik ini berlangsung tanpa pengawasan hukum karena para pelaku tidak mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ataupun lembaga keuangan resmi.
Korban Praktik ilegal rentenir Risnawaty.
Tinjauan Hukum: Rentenir dan Jeratan Pidana
Praktisi hukum Herwandy Baharuddin, S.H., M.H., menyayangkan lemahnya penindakan terhadap praktik rentenir yang merajalela.
Menurutnya, meskipun belum ada pasal khusus yang secara eksplisit menyebut “rentenir” sebagai tindak pidana, praktik ini bisa dikualifikasikan sebagai kejahatan ekonomi dan pelanggaran hukum pidana maupun perdata.
“Praktik pinjaman berbunga tinggi yang disertai tekanan, intimidasi, bahkan perampasan barang jaminan jelas melanggar hukum.
Dalam hukum pidana, hal ini bisa masuk dalam Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, dan Pasal 335 KUHP terkait perbuatan tidak menyenangkan,” tegas Herwandy.
Ia juga menyoroti aspek legalitas usaha para pelaku. Jika kegiatan tersebut dilakukan tanpa izin resmi dari OJK atau Bank Indonesia, maka pelaku bisa dijerat dengan sanksi pidana berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Dari perspektif hukum perdata, bunga pinjaman yang tidak wajar juga melanggar asas keadilan, terutama syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yakni adanya causa yang halal.
“Negara seharusnya hadir untuk melindungi masyarakat dari praktik eksploitatif seperti ini. Rentenir bukan hanya persoalan moral, tapi juga persoalan hukum yang menyangkut perlindungan rakyat kecil dari jeratan ekonomi yang menindas,” ujarnya.
Seruan Tindakan Tegas dan Edukasi Masyarakat
Masyarakat mendesak agar aparat penegak hukum dan pemerintah daerah segera mengambil tindakan nyata. Selain upaya penertiban, edukasi tentang bahaya pinjaman ilegal dan pentingnya mengakses lembaga keuangan resmi perlu digencarkan untuk memutus mata rantai praktik rentenir liar yang kian memiskinkan rakyat kecil.
Herwandy menegaskan, “Sudah saatnya praktik rentenir dipandang sebagai kejahatan yang dapat dan layak dipidana. Negara tidak boleh abai terhadap penderitaan masyarakat yang menjadi korban sistem keuangan gelap ini.” (*)