
SIDRAP, lintasnews7— Maraknya praktik rentenir berkedok bantuan keuangan cepat di Kabupaten Sidrap telah menjelma menjadi teror sosial dan ekonomi.
Modusnya sederhana: pinjam cepat tanpa agunan, tapi balasannya adalah bunga gila, tekanan mental, hingga intimidasi bernuansa premanisme. Warga tak hanya dicekik secara ekonomi, tapi juga dihantui ancaman psikologis yang menghancurkan martabat.
Risnawati, salah satu warga korban, bercerita pilu. Dari pinjaman senilai Rp10 juta, ia hanya menerima Rp8 juta karena dipotong biaya administrasi.
Namun, dalam waktu sebulan, ia dipaksa mengembalikan Rp18 juta. Keterlambatan sedikit saja, ia diancam akan dipermalukan di media sosial dan diintimidasi oleh debt collector yang mengaku sebagai “utusan” pemberi pinjaman.
“Baru telat dua hari sudah diteror lewat WA. Saya diancam kalau enggak bayar, nama saya akan disebar, keluarga dipermalukan. Saya takut, Kak,” ujarnya sambil menahan tangis.
Hukum Dilanggar, Negara Diam?
Praktik rentenir semacam ini bukan hanya tindakan tidak etis—ia adalah pelanggaran hukum secara terang-terangan. Namun, ironisnya, banyak aparat penegak hukum masih menutup mata, seolah praktik ini bukan bagian dari ranah pidana.
Herwandy Baharuddin, S.H., M.H., praktisi hukum yang telah lama memantau praktik rentenir di daerah, menegaskan bahwa meskipun istilah “rentenir” tidak disebut eksplisit dalam KUHP, unsur perbuatannya sudah cukup memenuhi syarat pidana.
“Jika disertai ancaman, tekanan, bahkan kekerasan verbal atau fisik dalam proses penagihan, itu bisa dikualifikasikan sebagai pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP,” jelasnya. Selain itu, Pasal 335 KUHP juga mengatur perbuatan tidak menyenangkan yang relevan dengan pola intimidasi dalam penagihan utang.
Tak hanya itu, jika rentenir beroperasi tanpa izin dari OJK atau Bank Indonesia, mereka dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Ini merupakan bentuk praktik keuangan ilegal yang jelas melanggar ketentuan formal.
Menyaru Lembaga Keuangan, Tapi Tanpa Legalitas
Lebih mengkhawatirkan, banyak rentenir yang kini menyamar sebagai penyedia pinjaman online atau offline berbasis teknologi, tanpa izin resmi. Hal ini melanggar Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), yang dengan tegas mewajibkan pendaftaran dan izin usaha bagi penyelenggara fintech lending.
Pelanggaran terhadap POJK ini memungkinkan OJK menjatuhkan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan, hingga pencabutan izin. Namun dalam kasus rentenir liar, yang bahkan tidak pernah terdaftar, jalur penindakan hukum hanya bisa dilakukan lewat Kepolisian dan Satgas Waspada Investasi.
Pinjol ilegal—atau dalam kasus ini, rentenir berkedok fintech—sering menggunakan praktik penagihan yang keji: menyebar data pribadi, menelpon rekan dan keluarga, hingga menyebar ancaman secara digital. Ini jelas bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen.
Mendesak: Penegakan Hukum dan Perlindungan Rakyat
Kasus seperti ini bukan hanya masalah hukum, tapi darurat sosial. Warga yang sudah terjepit ekonomi makin diperas secara struktural. Negara melalui aparat kepolisian, OJK, dan Pemda tak boleh lagi bersembunyi di balik birokrasi atau ketidaktahuan.
Sudah saatnya penegakan hukum bertindak tegas, bukan hanya untuk menindak pelaku, tapi juga mencegah meluasnya jeratan utang rentenir yang membuat masyarakat kecil makin miskin dan putus harapan.
“Rentenir adalah wajah gelap ekonomi rakyat. Bila negara terus diam, maka keadilan hanya akan menjadi ilusi,” tegas Herwandy.
Jika masyarakat merasa terjebak atau terancam oleh praktik pinjaman ilegal, segera laporkan ke Satgas Waspada Investasi, OJK, atau Kepolisian setempat. Jangan biarkan ketakutan membungkam suara keadilan. (*)