
Sidrap, Lintasnews7 — Episode hukum yang sempat menyesakkan nalar publik akhirnya mencapai babak final. Seorang terdakwa yang semula divonis bebas dalam kasus korupsi proyek lanjutan penimbunan Rumah Sakit Pratama di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), kini resmi menjalani pidana penjara. Inilah peristiwa langka dalam praktik peradilan—dan Kejaksaan Negeri Sidrap memainkan peran sentral dalam membalikkan situasi.
Adalah Akbar Makmur, kontraktor pelaksana proyek tahun anggaran 2020 senilai Rp2 miliar, yang pada 1 Agustus 2025 resmi dieksekusi dan dijebloskan ke Lapas Kelas I Makassar. Langkah itu diambil pasca-Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum Kejari Sidrap, dan menjatuhkan hukuman empat tahun penjara serta denda Rp200 juta subsidair enam bulan kurungan. Akbar juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp613 juta lebih.
“Ini bukan hanya soal menegakkan hukum, tapi soal menjaga wibawa keadilan. Tidak semua putusan bebas bisa diterima begitu saja. Kami ajukan kasasi, dan Mahkamah Agung melihat dengan jernih bahwa ada tindak pidana yang nyata,” kata Kepala Seksi Intelijen Kejari Sidrap, Muslimin Lagalung, SH, dalam keterangan resminya.
Sebelumnya, pada 20 Agustus 2024, Majelis Hakim Tipikor Makassar dalam putusan Nomor 52/Pid.Sus-TPK/2024 menyatakan Akbar Makmur tidak terbukti bersalah. Putusan vrijspraak ini sempat menimbulkan keheranan banyak pihak, mengingat hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menunjukkan kerugian keuangan negara sebesar Rp914 juta akibat pengurangan volume pekerjaan proyek.
Namun Kejari Sidrap tak menyerah. Dengan bersandar pada Pasal 253 KUHAP, kasasi diajukan ke MA—dan putusan Nomor 3182 K/Pid.Sus/2025 tertanggal 7 Mei 2025 menjadi titik balik.
Eksekusi berlangsung tertib, dipimpin oleh Kasi Pidana Khusus Hendarta, SH, MH bersama tim gabungan. Ini adalah eksekusi kedua dalam perkara yang sama, setelah sebelumnya Nasruddin, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), lebih dahulu menjalani hukuman pada Juli lalu.
Proyek RS Pratama Sidrap yang dibiayai dari APBD seharusnya menjadi instrumen pelayanan kesehatan, bukan ladang penyimpangan anggaran. Namun praktik di lapangan berkata lain. Dari penyidikan yang dilakukan Kejari sejak 2024, ditemukan banyak kejanggalan teknis dalam pelaksanaan pekerjaan, yang tidak sesuai spesifikasi dan tidak mencerminkan itikad baik.
“Keberhasilan kasasi ini sekaligus membuktikan bahwa Kejaksaan tidak hanya bekerja secara prosedural, tapi juga substantif. Ketika hukum dijalankan dengan keberanian, keadilan bisa ditegakkan bahkan dari reruntuhan putusan yang sempat meleset,” tandas Muslimin.
Ia menegaskan, vonis bebas tidak selalu menjadi garis akhir dalam sebuah perkara pidana. “Kita gunakan semua jalur hukum yang tersedia. Ini bentuk keseriusan institusi kami dalam menjaga uang rakyat,” ujarnya.
Di tengah maraknya upaya mencari celah hukum oleh pelaku korupsi, putusan kasasi MA dalam perkara ini adalah penegasan penting bahwa impunitas bukan harga mati. Sebaliknya, komitmen, konsistensi, dan kerja cermat aparat penegak hukum masih sanggup membalik keadaan.
Dalam wajah hukum Indonesia yang kerap disorot publik, langkah Kejari Sidrap adalah pernyataan: bahwa di tengah jalan berliku hukum formal, masih ada keberanian yang tak ragu berpihak pada keadilan hakiki.(*)