
Sidrap, Lintasnews7 – Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) selama ini dikenal luas sebagai lumbung pangan Sulawesi Selatan, penyumbang utama beras dan telur untuk daerah-daerah lain. Namun kini muncul gagasan baru yang dinilai cukup visioner: menjadikan Sidrap bukan hanya lumbung pangan, tetapi juga lumbung ulama.
Gagasan itu disampaikan Bupati Sidrap, Syaharuddin Alrif, dalam pembukaan Kemah Tahfidz dan Bahasa VIII Pesantren Muhammadiyah/Aisyiyah se-Sulawesi Selatan yang digelar di halaman Masjid Agung Sidrap, Sabtu (13/9/2025). Hadir ribuan warga Muhammadiyah, aparat pemerintah, tokoh masyarakat, dan santri dari berbagai daerah.
“Sidrap harus dikenal bukan hanya sebagai lumbung beras dan telur, tetapi juga lumbung ulama,” tegas Syaharuddin yang juga mantan Sekretaris Jenderal PP Pemuda Muhammadiyah.
Sejarah mencatat, Sidrap memiliki tradisi keulamaan yang kuat. Dari tanah kelahiran Nene Mallomo ini lahir sejumlah tokoh besar, seperti Prof. M. Quraish Shihab, pakar tafsir Al-Qur’an dan mantan Menteri Agama RI.
Ada pula Syekh Ali Mathar, ulama karismatik Rappang pada awal abad ke-20, KH. Abd Muin Yusuf yang berpengaruh di kalangan pesantren Sidrap, serta Syekh Abdul Rahman atau Syekh Bojo, salah satu penyebar awal Islam di Sidrap.
Selain itu, beberapa ulama Muhammadiyah asal Sulsel juga turut memperkuat tradisi ini, di antaranya KH. Nasruddin Razak, KH. Abd. Jabbar Asyiri, hingga Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag., Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel.
Menurut Dosen Komunikasi Politik UIN Alauddin Makassar, Haidir Fitra Siagian, langkah Bupati Syaharuddin menarik karena berbeda dari kebanyakan kepala daerah yang lebih fokus pada pembangunan fisik atau peningkatan pendapatan asli daerah.
“Menjadikan program melahirkan ulama sebagai prioritas adalah hal yang sangat jarang ditemui. Ini menunjukkan visi politik jangka panjang yang berorientasi pada pembangunan manusia dan warisan spiritual,” ungkap Haidir, yang juga Ketua Panitia Wilayah Kemah Tahfidz tersebut.
Selain itu, Syaharuddin yang berlatar belakang politisi partai nasionalis dianggap memberi warna tersendiri. “Di tengah kenyataan bahwa politisi berbasis agama sekalipun jarang membuat program seperti ini, langkah seorang politisi nasionalis mengusung gagasan lumbung ulama tentu mengandung makna yang dalam,” tambah Haidir.
Meski demikian, masyarakat berharap gagasan ini tidak sekadar wacana. Program konkret perlu segera dirancang, termasuk melibatkan kalangan pesantren, akademisi, dan perguruan tinggi untuk menyusun naskah akademiknya.
“Ulama bukan hanya simbol, tetapi kebutuhan nyata. Kehadiran mereka adalah pengawal moral dan penyampai nilai-nilai agama yang sering lebih didengar ketimbang pejabat formal,” tegas Haidir.
Jika berhasil diwujudkan, program lumbung ulama diyakini bukan hanya bermanfaat bagi Sidrap, tetapi juga Sulawesi Selatan, bahkan Indonesia. Ulama dari Sidrap diharapkan menjadi bagian penting pembangunan bangsa, tidak hanya dalam aspek fisik dan ekonomi, tetapi juga moral dan spiritual. (Haidir Fitra Siagian)